Oleh: Asrul Ashar Alimuddin
Berbagai negara diseluruh dunia saat ini terus berusaha menumbuhkan perekonomian untuk kesejahteraan masyarakatnya. Tingkat perekonomian suatu negara bisa dilihat melalui besaran produk domestik bruto (PDB) dari suatu negara. PDB merupakan alat ukur untuk menghitung total pendapatan negara. Pertumbuhan ekonomi sebagai variabel makro yang menjadi target utama bagi seluruh negara di Dunia. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi dasar bagi pemerintahan dalam merumuskan dan menentukan kebijakan pembangunan negaranya.
Ekspor merupakan sumber utama devisa negara. Secara garis besarnya komoditas ekspor Indonesia terdiri atas dua komponen yaitu ekspor migas dan ekspor non migas. Fluktuasi nilai ekspor (ke negara-negara tujuan) ditentukan oleh besarnya volume ekspor dan harga komoditas ekspor itu sendiri. Volume ekspor akan meningkat seiring dengan meningkatnya produksi barang-barang yang diekspor tersebut. Komoditas ekspor dalam bentuk barang-barang jadi (final goods) dan barang-barang setengah jadi (intermediate goods) sudah tentu lebih tinggi nilainya jika dibandingkan dengan mengekspor dalam bentuk bahan mentah. Oleh karena itu perlu diinputkan dan dikembangkan industri-industri yang mengolah bahan-bahan mentah menjadi barang-barang jadi dan setengah jadi. Ekspor non migas secara garis besarnya dikelompokkan atas 3 sektor yaitu sektor pertanian, sector industri dan sektor pertambangan dan lainnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia Desember 2021 mencapai USD 22,38 miliar. Angka tersebut turun sebesar 2,04 persen dibanding ekspor November 2021. Namun, jika dibandingkan dengan Desember 2020 nilai ekspor naik sebesar 35,30 persen. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari hingga Desember 2021 mencapai USD 231,54 miliar atau naik 41,88 persen dibanding periode yang sama tahun 2020. Ekspor pertambangan dan lainnya turun 21,2 persen yang disebabkan oleh menurunnya ekspor batu bara. Perekenomian Indonesia di Tahun 2022 diyakini semakin meningkat. Pemerintah memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 dapat mencapai kisaran 5 persen -5,5 persen. Sementara, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi di 2022 akan berada sekitar 4,7 persen -5,5 persen. BI optimistis bahwa pemulihan akan terjadi pada tahun ini, yakni dari 3,2 persen – 4 persen pada 2021. Optimisme ini seiring dengan terus terjadinya pertumbuhan ekonomi dan mulai terkendalinya kasus penyebaran Covid-19 di Tanah Air.
Tantangan yang dihadapai Indonesia saat ini adalah bagaimana memaksimalkan pemanfaatan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki berupa tambang. Indonesia harus mampu mengubah orientasi industri tambangnya antara lain dengan melakukan hilirisasi, sehingga tidak ada lagi ekspor bahan baku setengah jadi, bahkan jika memungkinkan menjadi barang jadi, sehingga diperoleh nilai tambah tinggi dari harga jual barang tambang tersebut. Dari berbagai macam jenis barang tambang, batubara dan gas alam memegang peranan penting pada penerimaan keuangan negara dan juga mempengaruhi hajat hidup msyarakat Indonesia sebagai sumbner energi. Sayangnya, batubara dan gas alam termasuk sebagai energi takterbarukan yakni sumber energi yang proses pembentukannya memerlukan jutaan tahun dan apabila telah dieksploitasi, memerlukan waktu yang kurang lebih sama untuk terbentuk kembali.
Dengan memperhatikan perkembangan nasional dan internasional diperlukan strategi baru dalam pengelolaan dan eksploitasi yang mandiri, efisien, amdal dan menitikberatkan pada kemakmuranrakyat Indonesia untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Perkembangan nasional adalah dimana cadangan sumber daya mineral dan batu bara yang semakin menipis, sedangkan disisi lain kebutuhan dalam negeri semakin meningkat. Di lain pihak, permintaan akan mineral dan batu bara dunia internasional semakin meningkat dalam keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan harga mineral dan batu bara yang semakin meroket, serta kebutuhan dalam negeri yang sangat tinggi untuk keperluan pemerintah dalam urusan listrik negara yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar pembangkitnya.
Dari sisi daya serap tenaga kerja jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertambangan juga sangat tinggi dimana, tenaga di sektor pertambangan dan juga smelter di Tanah Air sekitar 250.300 orang. Tentunya dalam setiap kebijakan pemerintah yang akan diambil, akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan stake holders atau pemangku kepentingan, tidak terkecuali kebijakan larangan ekspor mineral dan batubara mentah. Pandangan yang mendukung pemanfaatan sektor minerba untuk memperkuat industri domestik mempunyai argumentasi bahwa industri nasional masih perlu mendapat dukungan ketersediaan bahan baku dalam jumlah yang memadai dan harga yang murah. Selain itu, ekspor minerba dalam bentuk raw material tidak memberikan value added yang signifikan terhadap perekonomian nasional selain penerimaan devisa dalam jangka pendek. Dipihak lain, pandangan dari kalangan eksportir dan produsen minerba mempunyai argumentasi bahwa industri dalam negeri belum mampu menyerap seluruh produksi pertambangan minerba, baik karena kurangnya fasilitas peleburan dan pemurnian (smelter) atau fasilitas pengolahan di sisi yang lebih hilir.
Cara terbaik untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan menyumbang devisa negara yang dibutuhkan adalah dengan mengekspor bahan mentah minerba. Pengendalian ekspor bahan mentah minerba, dimana nikel, bijih besi dan bauksit termasuk di dalamnya, memiliki semangat yang membangun bagi perekonomian domestik. Peningkatkan manfaat mineral bagi rakyat dan untuk kepentingan pembangunan daerah, maka perlu ditingkatkan lagi nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sumberdaya mineral di dalam negeri. Di samping itu, penerimaan negara yang bersumber dari Pajak danPNBP sektor pertambangan minerba akan lebih tinggi lagi dengan terealisasinya kebijakan pemurnian dan pengolahan produk minerba. Secara umum Indonesia dalam kurun 2001-2011 sebagai eksportir atas sumber daya mineral dalam bentuk bijih dan produk setengah jadi (intermediate). Sebaliknya dalam tiga tahun terakhir, Indonesia semakin banyak mengimpor produk hilirnya. Kebijakan ini akan menjadi bumerang bagi kita jika tidak dipersiapkan dengan matang terutama pada sektor infrastrukturnya. Ada beberapa faktor yang akan membuat kebijakan ini akan gagal mengangkat tingkat ekonomi masyarakat, antara lain Bila tidak ada koordinasi antara Kementerian ESDM dengan mitra kerjanya dari Kementerian dan instansi lain, seperti Kementerian Keuangan dan Dalam Negeri serta Bank Indonesia, Terkendalanya pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian minerba, Kurangnya sosialisasi tentang kebijakan larangan ekspor minerba mentah akanmembuat membuat citra Indonesia sebagai pemasok yang tidak dapat diandalkan sehingga merangsang pembeli untuk beralih ke negara penghasil lainnya, Industri hilir domestik belum mampu sepenuhnya menyerap hasil produksi pengolahan dan pemurnian mineral domestik, akan tetapi sebagai sebuah negara besar, kita harus optimis bahwa kebijakan larangan ekspor minerba mentah yang diambil Pemerintah akan membawa dampak positif bagi masyarakat karena peningkatan nilai tambahnya.
Ada beberapa faktor yang dapat memepengaruhi keberhasilan pelarangan ekspor barang tambang tersbut salah satunya adalah fasilitas pengolahan dan pemurnian minerba yang dapat dipenuhi dengan baik, penyiapan rantai hilirnya, tanpa penyiapan industri hilir akan muncul dampak negatif, namun apabila jika industri hilir dibangun maka kebijakan pengendalian ekspor bahan mentah minerba akan mampu memperpanjang rantai nilai domestik sehingga berdampak positif bagi perekonomian negara kita. Kementerian Perindustrian diharapkan dapat menyusun rencana terperinci pengembangan industri berbasis minerba, yang mencakup grand design dan road map. Grand design memadukan kebijakan lintas sektoral antara pemerintah pusat dan daerah sedangkan road mapnya adalah memandu tahapan-tahapan pengembangan. Kebijakan larangan ekspor sumber daya mineral dan batubara mentah pada dasarnya adalah kebijakan untuk meningkatkan nilai tambah hasil kekayaan alam kita yang pada akhirnya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akan tetapi kebijakan ini juga bisa berpengaruh negatif terhadap perekonomian bangsa apabila tidak dipersiapkan dengan baik.
Penulis: Statistisi BPS Kota Kendari